BREAKING NEWS
Loading...
Arizal & Nadia

Alhamdulillah, akhirnya kutemukan dirimu wahai belahan jiwaku..

Era Digital

Mari songsong era digital dengan penuh semangat dan percaya diri.

Hidup itu indah

Hidup adalah anugerah.

Karya

Terus belajar dan berkarya.

RIZALmedia

Disinilah semua ide dan gagasan saya persembahkan.

Kepanjen Idol

Sebuah wadah yang saya persembahkan untuk mendukung generasi muda kita.

Komunitas Blogger Indonesia

Sebuah komunitas yang saya dirikan dan persembahkan untuk kawan-kawan para blogger dari seluruh Indonesia.

Radio Kepanjen FM

Media radio yang pernah saya dirikan untuk misi hiburan dan pendidikan.

Tentang Arizal

Wawasan

Belajar Blog

Belajar Desain Grafis

Belajar Multimedia

RIZALmedia

Software

Belajar Media Sosial

Film

Hiburan


Hingga saat ini ternyata masih banyak yang salah mindset soal utang negara kita. Pemerintah sudah sering sampaikan aman, akan tetapi masih banyak masyarakat biasa yang belum paham dan menyebarkan hoax bahwa utang negara tidak aman.

Kementerian Keuangan selalu menyebut bahwa utang pemerintah yang jumlahnya mencapai ribuan triliun masih aman. Namun berkali-kali disebut aman, masih ada masyarakat yang khawatir mengenai jumlah utang pemerintah.

Tercatat total utang pemerintah mencapai Rp 4.570,17 triliun. Utang ini turun sekitar Rp 1 triliun dibanding bulan sebelumnya Rp 4.571,89 triliun.

Agar masyarakat benar-benar mengerti bahwa utang pemerintah masih aman dan terkelola dengan baik, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan pemerintah bisa melakukan dua cara yaitu menjelaskan dan dibiarkan saja.

"Karena pandangan terhadap utang ini berbeda-beda," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Dalam persoalan utang, Piter menganggap ada dua kriteria masyarakat Indonesia dalam menilai posisi utang pemerintah.

"Untuk yang paham tidak ada kekhawatiran bahwa utang pemerintah sudah tidak aman," kata Piter.

Asal tahu saja, Besaran utang pemerintah memiliki batasan aman atau tidaknya diatur dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada Pasal 12 ayat 3 menyebutkan defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.

Rasio utang pemerintah di Juni 2019 tercatat sebesar 29,72% terhadap PDB. Dengan begitu, rasio utang terhadap PDB masih aman mengingat besaran utang Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara maksimum sebesar 60% dari PDB.

Bagi mereka yang paham, perlu diberikan pemahaman bahwa utang pemerintah aman dan dikelola dengan baik. Bahkan, perlihatkan bukti utang digunakan untuk kegiatan yang produktif.

Untuk mereka yang tidak paham atau cenderung mengkritik pedas, dikatakan Piter sebaiknya pemerintah tidak perlu ambil pusing yakni dengan tetap fokus menjalankan sistem pemerintahan saja.

"Untuk kelompok yang tidak paham plus benci kepada pemerintah, ini yang sulit," tegasnya.

"Apapun yang dilakukan pemerintah akan tetap salah. Sebaiknya pemerintah tetap fokus saja dengan program-program yang terbaik untuk masyarakat," sambungnya.

Pada awal Februari 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuliskan sebuah puisi yang kemudian diunggah ke akun Facebook-nya. Puisi tersebut merupakan respons dari Sri Mulyani atas serangan dari Prabowo Subianto yang menyebutnya 'Menteri pencetak Utang'.

"Kalau menurut saya, jangan disebut lagi-lah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo pada Januari silam, kala dirinya sedang bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019.

Kutipan di atas penggalan bagian akhir dari puisi nan-emosional yang dituliskan oleh wanita kelahiran 26 Agustus 1962 tersebut.

Rasanya, semua orang akan setuju bahwa Sri Mulyani Indrawati merupakan sosok penghuni kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang paling banyak disorot.

Maklum saja, dirinya merupakan arsitek keuangan republik ini. Maju-tidaknya Indonesia, sejahtera-tidak rakyatnya, akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh Sri Mulyani yang sempat memegang posisi prestigius yakni Direktur Pelaksana Bank Dunia, sebelum pada akhirnya Jokowi berhasil mengetuk hatinya untuk kembali menjadi Menteri Keuangan pada Juli 2016 silam.

Seperti yang diketahui, sebelum kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Keuangan lagi, Sri Mulyani sempat menjabat posisi yang sama di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Salah satu sorotan yang banyak diberikan masyarakat ke Sri Mulyani memang terkait dengan utang. Penyebabnya, tambahan utang pemerintah di era Jokowi terbilang pesat jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya.

Pada periode satu Presiden SBY (2005-2009), tercatat tambahan utang pemerintah pusat adalah senilai Rp 291 triliun. Beralih ke periode satu Presiden Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket menjadi Rp 1.995 triliun. Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Juli 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode satu Jokowi akan semakin besar.


Banyak sekali masyarakat yang suka 'nyinyir' terkait tambahan utang di era Sri Mulyani.

"Hahahaha ga ada cara selain ngutang apa bagusnya kamu jadi menkeu."

"Kalau kau berhutang, kami yang bayar. Ooo.. Terima kasih wahai ibu mentri. Karena jasa mu lah, kami semua rakyat Indonesia punya hutang 13 juta rupiah per kepala."

"Kau bangun Jalan tol, yang hanya dinikmati golongan menengah keatas. Rakyat kecil yang menanggung utangnya, kau naikkan tarif listrik tanpa pandang bulu, BBM kau naikkan. Segala hajat hidup orang banyak kau pajaki. BPJS kau suruh bayar kami yang tak mampu. Sudahilah, kami lelah melihat kalian. 2019 ganti presiden."

Demikian beberapa 'nyinyiran' yang diposting di kolom komentar CNBC Indonesia dan ditujukan ke Sri Mulyani.

Tapi, apa iya Sri Mulyani itu gegabah dalam masalah pengelolaan utang?

Sebelum sibuk ‘nyinyirin’ Sri Mulyani, ada baiknya kita memahami bagaimana dunia ini beroperasi. Saat ini, bahkan sudah sedari dulu, dunia ini berjalan dengan yang namanya defisit fiskal.
Defisit fiskal merupakan kondisi di mana penerimaan negara lebih kecil ketimbang pengeluarannya, sehingga negara harus meminjam ke pihak lain guna mencukupi kebutuhan belanja, baik itu dalam bentuk pinjaman ataupun penerbitan obligasi.

Sejauh ini, Amerika Serikat (AS) merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Mengutip halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah AS saat ini berada di level US$ 22,5 triliun. Jika dikonversi ke rupiah menggunakan kurs di pasar spot pada saat berita ini ditulis yakni Rp 14.250/dolar AS, nilainya setara dengan Rp 320.625 triliun.

Di urutan kedua dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada China yang kini sedang terlibat perang dagang dengan AS. Melansir halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah China adalah senilai US$ 9,6 triliun atau setara dengan Rp 136.800 triliun.

Di posisi tiga dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada Negeri Sakura alias Jepang. Di posisi empat hingga sepuluh secara beruntun, ada Jerman, Inggris, India, Prancis, Italia, Brasil, dan Kanada.

Apakah ada yang bebas utang? Tidak. Semuanya punya utang.

Sebelum sibuk ‘nyinyirin’ Sri Mulyani, ada baiknya kita memahami bagaimana dunia ini beroperasi. Saat ini, bahkan sudah sedari dulu, dunia ini berjalan dengan yang namanya defisit fiskal.
Defisit fiskal merupakan kondisi di mana penerimaan negara lebih kecil ketimbang pengeluarannya, sehingga negara harus meminjam ke pihak lain guna mencukupi kebutuhan belanja, baik itu dalam bentuk pinjaman ataupun penerbitan obligasi.

Sejauh ini, Amerika Serikat (AS) merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Mengutip halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah AS saat ini berada di level US$ 22,5 triliun. Jika dikonversi ke rupiah menggunakan kurs di pasar spot pada saat berita ini ditulis yakni Rp 14.250/dolar AS, nilainya setara dengan Rp 320.625 triliun.

Di urutan kedua dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada China yang kini sedang terlibat perang dagang dengan AS. Melansir halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah China adalah senilai US$ 9,6 triliun atau setara dengan Rp 136.800 triliun.

Di posisi tiga dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada Negeri Sakura alias Jepang. Di posisi empat hingga sepuluh secara beruntun, ada Jerman, Inggris, India, Prancis, Italia, Brasil, dan Kanada.

Apakah ada yang bebas utang? Tidak. Semuanya punya utang.


Kalau dibandingkan dengan posisi utang pemerintah Indonesia per Juli 2019 yang senilai Rp 4.604 triliun, utang Indonesia menjadi sangat-sangat kecil.

Namun, memang membandingkan posisi utang sebuah negara tak bisa hanya melalui nominalnya semata. Pasalnya, nilai perekonomian setiap negara berbeda-beda, sehingga kapasitasnya dalam melunasi utangnya juga berbeda-beda.

Di dunia ekonomi, biasanya rasio utang terhadap Produk Domestik Pruto (PDB) atau debt to GDP ratio merupakan indikator yang dipakai untuk menentukan sehat-tidaknya tingkat utang sebuah negara. Semakin tinggi rasio utang terhadap PDB, maka tingkat utang sebuah negara bisa dibilang semakin tidak sehat.

Melansir data dari Trading Economics, per tahun 2018 rasio utang terhadap PDB dari AS adalah 106%. Untuk China dan Jepang, rasio utang terhadap PDB-nya adalah masing-masing sebesar 50,5% dan 238%.


Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata, walau secara sepintas total utang pemerintah pusat yang senilai Rp 4.604 triliun terlihat besar, jika dilihat dari kacamata yang benar akan menjadi rendah.

Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang terhadap PDB pemerintah Indonesia merupakan yang terendah.


Pada saat ini, perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan stimulus guna membuatnya bergairah seperti dulu. Pada periode satu pemerintahan SBY, secara rata-rata perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,94%, sementara dalam empat tahun pertama pemerintahan Jokowi, secara rata-rata perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,01%.

Ada faktor eksternal di sini. Semasa periode satu SBY, perekonomian dunia tumbuh lebih pesat, yakni 3,78% secara rata-rata. Sementara di era Jokowi (2015-2018), perekonomian dunia tumbuh melambat seiring dengan ketidakpastian yang membayangi perekonomian negara-negara dengan nilai raksasa. Jika di rata-rata, pertumbuhan ekonomi dunia dalam periode 2015-2018 adalah sebesar 3,55%.

Di AS dan China, kedua negara sudah lebih dari satu setengah tahun terlibat dalam perang dagang yang begitu panas. Di Inggris, kini potensi No-Deal Brexit alias perceraian antara Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan terbuka dengan sangat lebar.

Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang lesu, masuk akal jika penerimaan negara menjadi kurang maksimal. Untuk diketahui, mayoritas penerimaan negara Indonesia datang dari penerimaan perpajakan, disusul oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lalu kemudian penerimaan hibah.

Di era Jokowi, pertumbuhan ekonomi dunia yang relatif lesu (yang pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia juga lesu) telah mengakibatkan penerimaan perpajakan menjadi relatif lemah, yang pada akhirnya membuat penerimaan negara secara keseluruhan ikut menjadi rendah juga.

Jika di rata-rata, realisasi penerimaan perpajakan di periode satu SBY adalah sebesar 99,6% dari target. Untuk penerimaan negara secara keseluruhan, nilainya adalah 99,5%. Beralih ke era Jokowi, secara rata-rata dalam periode 2015-2018, realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 88%, sementara realisasi penerimaan negara secara keseluruhan hanya 92,8%.


Implikasinya, ya mau tak mau pemerintah harus berutang kalau tak mau belanjanya dipangkas. Untuk diketahui, realisasi belanja di era Jokowi tak kalah jauh dari realisasi di periode satu SBY.

Secara rata-rata, realisasi belanja negara di periode satu SBY tercatat sebesar 95,9% dari target. Di era Jokowi, angkanya hanya turun tipis menjadi 93,6%. Padahal kalau melihat realisasi penerimaan, Jokowi tertinggal jauh dari SBY.


Kalau Sri Mulyani tak mengambil keputusan yang berani untuk mengambil utang dalam jumlah yang besar, dipastikan perekonomian Indonesia akan lebih loyo lagi.

Nah, bagi Indonesia yang masih masuk ke kategori negara berkembang, pertumbuhan ekonomi memang harus dijaga di level yang relatif tinggi.

Alasannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.

Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.


Semenjak Jokowi resmi menjabat sebagai presiden pada akhir 2014 silam, masalah krusial yang harus dibenahi di Indonesia memang salah satunya adalah permasalahan infrastruktur. Tanpa infrastruktur yang memadai, jangan harap sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi bisa dimaksimalkan dengan baik.

Nah, utang yang ditarik oleh Kementerian Keuangan banyak dialokasikan ke belanja infrastruktur.

Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun. Selepas tahun 2014, anggaran untuk pembangunan infrastruktur terus melejit.


Selain anggarannya yang besar, pembangunan infrastruktur yang dieksekusi Jokowi juga terbukti tak Jawa-sentris. Dari Sabang sampai Merauke, jalan, jalan tol, tol laut, jembatan, pelabuhan, hingga bandara dieksekusi dengan begitu gesit oleh mantan Walikota Solo tersebut.

Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.

Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada Oktober atau kurang dari 3 bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.

Dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.

Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.

Beralih ke era Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%) dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Dalam 3 tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.


Pada tahun depan, belanja negara ditargetkan berada di angka Rp 2.528,8 triliun, naik 7,99% jika dibandingkan dengan outlook untuk tahun 2019 yang senilai Rp 2.341,6 triliun. Dari anggaran belanja senilai lebih dari Rp 2.500 triliun tersebut, sebanyak Rp 419,2 triliun dialokasikan untuk membangun infrastruktur.

Sejatinya, utang itu merupakan sesuatu yang sangat biasa. Tak hanya negara, rumah tangga hingga bisnis pun hampir seluruhnya punya utang. Jika berbicara mengenai utang, ada dua hal yang harus dicermati: kapasitas untuk melunasi dan tujuannya.
Berbicara mengenai kapasitas, tentu kapasitas Indonesia masih besar seiring dengan rasio utang terhadap PDB yang masih rendah. Jika berbicara mengenai tujuan, tujuannya adalah jelas dan sangat bisa dipahami, yakni untuk mengembangkan infrastruktur yang sudah membuat Indonesia kalah jauh dari negara-negara tetangga.

Sekarang, kita bisa memahami kenapa Sri Mulyani tak ragu dalam menarik utang dalam jumlah besar. Bukan ugal-ugalan, tapi Indonesia memang perlu utang itu.

Justru, dalam kondisi yang penuh tantangan seperti saat ini, seharusnya masyarakat Indonesia itu ‘nyinyir’ kalau Sri Mulyani terlalu takut untuk menarik utang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

sumber : CNBC INDONESIA

selengkapnya bisa dipelajari di : https://www.kemenkeu.go.id/menjawabutang

Saatnya Berbagi :
Share on WhatsApp
«
Berikutnya
Posting Lebih Baru
»
Sebelumnya
Posting Lama

Komentar Facebook :

Komentar dengan Akun Google :

Tidak ada komentar:


Top