Pasien Covid-19 Meninggal juga karena Kurang Vitamin D? Padahal Kita Diarahkan di Rumah Saja!
Agak berlawanan bila satu sisi pasien virus corona (covid-19) yang meninggal juga karena kekurangan vitamin D yang bisa didapatkan dari sinar ultra violet matahari dengan kita dilarangnya keluar rumah yang mengakibatkan kita juga jarang terkena sinar matahari.
Meski sudah ada himbauan, kalau bisa kita berjemur di pagi hari setiap hari selama 10 menit untuk mengganti kurangnya paparan sinar matahari di tubuh kita, namun tetap saja hal ini masih menjadi PR yang susah bagi sebagian besar masyarakat.
Vitamin D dari sinar UV matahari penting lho bagi tubuh kita, bahkan bisa menjaga daya imun tubuh kita. Namun, bila kita terus di rumah saja, maka asupan vitamin D pada tubuh kita akan berkurang, dan berefek menurunnya daya imun tubuh kita.
Ini seperti makan buah simalakama.
Sama juga dengan pilihan antara kepentingan kesehatan dengan kepentingan ekonomi saat ini.
Ini juga seperti makan buah simalakama.
Mengenai pasien covid-19 yang meninggal juga karena kurangnya vitamin D, ternyata hal ini didapat dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan di Northwestern University.
Berikut informasinya yang saya kutip dari Kompas :
Sebagai penyakit baru yang menjadi pandemi global, Covid-19 terus menjadi obyek penelitian banyak ilmuwan dan praktisi kesehatan. Salah satu penelitian dilakukan oleh sekelompok ilmuwan di Northwestern University.
Para peneliti menggunakan data statistik dari rumah sakit yang tersebar di beberapa negara. Antara lain China, Perancis, Jerman, Italia, Iran, Korea Selatan, Spanyol, Swiss, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa para pasien yang berasal dari negara-negara dengan tingkat kematian tinggi akibat Covid-19 memiliki tingkat vitamin D yang rendah. Antara lain dari negara italia, Spanyol, dan Inggris Raya.
Salah satu penelitian dilakukan oleh sekelompok ilmuwan di Northwestern University. Para peneliti menggunakan data statistik dari rumah sakit yang tersebar di beberapa negara. Antara lain China, Perancis, Jerman, Italia, Iran, Korea Selatan, Spanyol, Swiss, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa para pasien yang berasal dari negara-negara dengan tingkat kematian tinggi akibat Covid-19 memiliki tingkat vitamin D yang rendah. Antara lain dari negara italia, Spanyol, dan Inggris Raya.
“Kami menemukan bahwa kekurangan vitamin D berkaitan dengan tingkat kematian. Namun, bukan berarti kami menyarankan asupan suplemen vitamin D,” tutur pemimpin penelitian Vadim Backman seperti dikutip dari Science Daily, Senin (18/5/2020).
Backman menyebutkan penelitian ini membutuhkan studi lebih lanjut. Ia dan timnya terpanggil untuk melihat tingkat vitamin D saat melihat perbedaan angka kematian akibat Covid-19 antara satu negara dengan negara lain.
Beberapa penelitian lain melakukan hipotesis terhadap kualitas fasilitas kesehatan, usia populasi, jumlah uji atau tes Covid-19.
Namun Backman merasa ada aspek yang terlewat. “Tidak ada satupun dari faktor tersebut yang memiliki peran signifikan. Sistem kesehatan di Italia bagian utara adalah salah satu yang terbaik di dunia. Kemudian, meski usia populasi yang sama, tingkat kematian tiap negara juga berbeda,” papar Backman.
Vitamin D dan Badai Sitokin Backman dan timnya menemukan korelasi kuat antara tingkat vitamin D dan badai sitokin.
Ini merupakan kondisi hiperinflamasi yang disebabkan oleh sistem imun yang terlalu aktif.
“Badai sitokin dapat menimbulkan kerusakan pada paru, yang mengarah pada masalah pernapasan akut bahkan kematian pada pasien,” tuturnya.
Vitamin D diketahui meningkatkan kesehatan imun kita, sekaligus mencegah sistem imun terlalu aktif.
Backman mengatakan orang yang memiliki tingkat vitamin D yang tepat bisa terhindar dari beberapa komplikasi, termasuk kematian, akibat Covid-19.
“Analisis kami menyebutkan bahwa ini (tingkat vitamin D yang tepat) bisa memotong jumlah angka kematian hingga setengahnya. Ini tidak akan mencegah pasien untuk tidak terinfeksi virus, namun mengurangi komplikasi dan kematian,” paparnya.
Backman juga mengatakan korelasi ini mungkin bisa menjelaskan banyak misteri tentang Covid-19, termasuk mengapa anak-anak jarang terinfeksi secara parah. Disebutkan bahwa sistem imun pada anak belum terbentuk secara total, sehingga minim kemungkinan untuk bereaksi terlalu aktif.
Meski yakin akan penelitiannya, Backman mengimbau masyarakat untuk tidak mengonsumsi suplemen vitamin D secara berlebihan.
“Belum dipastikan dosis vitamin D yang pas untuk Covid-19,” tuturnya.
Saatnya Berbagi :
Tidak ada komentar: